Kualitas Hidup Penderita Presbikusis di RSUD Sultan Syarif Mohamad Alkadrie Pontianak tahun 2019 |
Author : Maisara Safitri, Eva Nurfarihah, Mitra Handini |
Abstract | Full Text |
Abstract :Prevalensi presbikusis sebesar 30-35% di antara orang berusia 65-75 tahun di Indonesia. Presbikusis mengganggu komunikasi dan memengaruhi kualitas hidup penderitanya. Tujuan penelitian ini untuk mengetahui hubungan antara gangguan pendengaran dan kualitas hidup penderita presbikusis di RSUD Sultan Syarif Mohamad Alkadrie Kota Pontianak. Penelitian analitik dilakukan dengan pendekatan potong lintang. Subjek penelitian berjumlah 39 orang. Kualitas hidup pada penelitian ini diukur dengan kuesioner HHIE-S (Hearing Handicap Inventory for the Elderly-Screening). Analisis data dengan uji Kendall’s tau c menunjukkan p value = 0,0000 dan nilai korelasi sebesar 0,675. Terdapat korelasi kuat antara gangguan pendengaran dan kualitas hidup penderita presbikusis di RSUD Sultan Syarif Mohamad Alkadrie Pontianak tahun 2019.
The prevalence of presbycusis among 65-75 year-olds in Indonesia is 30-35%. Presbycusis will reduce their communication ability and impact their quality of life. This study aimed to determine the correlation between degree of hearing loss and quality of life among presbycusis patients at RSUD Sultan Syarif Mohamad Alkadrie. Thirty nine subjects were included in this analytical cross-sectional study. The quality of life was measured using the HHIE-S (Hearing Handicap Inventory for the Elderly-Screening) questionnaire. Kendall’s tau c analysis resulted in p value = 0.0000 and correlation coefficient was 0.675. Severity of hearing loss is strongly related to quality of life among presbycusis patients at RSUD Sultan Syarif Mohamad Alkadrie in Pontianak in 2019. |
|
Sirosis Hepatis - Reversibel atau Irreversibel? |
Author : Bernard Jonathan Christian Yong, Marco Vidor |
Abstract | Full Text |
Abstract :Sirosis hepatis adalah tahap akhir penyakit hati dengan berbagai penyebab, antara lain kelainan metabolik atau infeksi hepatitis B dan hepatitis C. Hingga saat ini, sirosis hepatis diyakini sebagai proses tidak reversibel, yang berujung dengan transplantasi hati. Namun, seiring dengan perkembangan teknologi dan pemahaman tentang patogenesis, sirosis hepatis mungkin bersifat reversibel.
Liver cirrhosis is a final stage of liver disease with many etiologies, i.e. metabolic disorder or infection like type B hepatitis and type C hepatitis. Liver cirrhosis is still being considered as an irreversible disease, which leads to liver transplantation. But as far as the development of technology and knowledge of liver cirrhosis pathogenesis, liver cirrhosis might be considered as a reversible process. |
|
Pencegahan dan Manajemen Vaginosis Bakterial |
Author : Fiska Rosita, Putti Fatiharani Dewi, Ambar Aliwardani |
Abstract | Full Text |
Abstract :Gangguan keseimbangan flora bakteri normal dalam vagina menyebabkan vaginosis bakterial. Vaginosis bakterial dapat tidak menunjukkan gejala atau ditandai dengan duh tubuh putih keabuan disertai bau amis. Skor Nugent merupakan standar emas untuk diagnosis. Penggunaan probiotik menunjukkan hasil memuaskan sehingga dipertimbangkan dalam manajemen bakterial vaginosis.
Bacterial vaginosis is caused by disruption of normal bacterial flora balance in the vagina. This disease may show no symptoms; can be characterized by the presence of agrayish-white discharge accompanied by a fishy odor. Nugent score is the gold standard for diagnosis. The use of probiotics shows satisfactory results; and may be considered in the management of bacterial vaginosis. |
|
Eksisi Luas dan Rekonstruksi Karsinoma Sel Basal Wajah |
Author : Suyuthie HD, Harahap WA, Khambri D, Rustam R |
Abstract | Full Text |
Abstract :
Pembedahan adalah terapi paling efektif untuk karsinoma sel basal (KSB). Meskipun sangat jarang bermetastasis, KSB menyebabkan destruksi lokal luas mencakup kerusakan jaringan lunak, kartilago, dan tulang, sehingga memerlukan penanganan lebih komprehensif termasuk rekonstruksi. Tulisan ini melaporkan tata laksana kasus serial karsinoma sel basal di RSUP Dr. M. Djamil Padang periode Januari hingga Mei 2020.
Surgical treatment is the most effective treatment in basal cell carcinoma (BCC). Although metastasis is rarely found, basal cell carcinoma causes extensive local destruction including soft tissue, cartilage, and bone damage requiring more comprehensive treatment including reconstruction. A series of basal cell carcinoma cases management in Dr. M. Djamil General Hospital Padang during January to May 2020 was reported. |
|
Perdarahan Neonatus Akibat Defisiensi Vitamin K: Diagnosis, Tata Laksana, dan Pencegahan |
Author : Jadei Irene Linardi |
Abstract | Full Text |
Abstract :Perdarahan neonatus akibat defisiensi vitamin K (PDVK) merupakan salah satu gangguan koagulasi didapat, dengan manifestasi tidak spesifik. Perdarahan dapat bervariasi mulai dari perdarahan kulit hingga perdarahan intrakranial yang mengancam jiwa. Terdapat 3 bentuk klinis PDVK, yaitu onset dini, klasik, dan lambat. Tata laksana meliputi pemberian vitamin K dan/atau fresh frozen plasma (FFP). Pencegahan dengan vitamin K profilaksis pada bayi baru lahir.
Vitamin K deficiency bleeding (VKDB) in newborn is an acquired coagulation disorder with nonspecific clinical manifestations. The symptoms are from skin bleeding to a life-threatening intracranial bleeding. Three types of VKDB according to its onset are early, classic and late type. Proper managements of VKDB include administration of vitamin K and/or fresh frozen plasma (FFP). Prevention can be done by giving vitamin K prophylaxis in newborn. |
|
Rekonstruksi Pectoralis Major Myocutaneuos Flap untuk Defek Operasi Kanker Tiroid |
Author : Oktahermoniza ., Heldrian Dwinanda Suyuthie, Ari Oktavenra, Sondang Nora, Daan Khambri, Wirsma Arif Harahap, Rony Rustam, Azamris . |
Abstract | Full Text |
Abstract :Latar Belakang: Pembedahan kanker daerah kepala dan leher umumnya menimbulkan defek luas dan biasanya memerlukan flap. Meskipun free flap saat ini merupakan gold standard untuk rekonstruksi daerah kepala leher, pectoralis major myocutaneous flap (PMMC) masih digunakan. Kasus: Perempuan usia 47 tahun, dengan kanker tiroid papiler T4aN0M0 dengan ulserasi di kulit leher, menjalani tiroidektomi total dan defek operasi direkonstruksi dengan pectoralis major myocutaneous flap. Hasil rekonstruksi dapat diterima secara fungsional dan estetik. Tidak ada komplikasi hematom ataupun abses post operasi. Simpulan: Pectoralis major myocutaneous flap masih merupakan salah satu metode utama untuk rekonstruksi operasi kepala leher dan dapat diterima secara fungsional dan estetik jika free flap tidak dapat dilakukan.
Background: Surgery for head and neck cancer generally leaves a wide defect that usually needed a flap. Although free flap is currently the gold standard for reconstruction of the head and neck, the pectoralis major myocutaneous flap is still popularly used. Case: A 47-year old female with thyroid carcinoma, underwent total thyroidectomy and the surgical defect was reconstructed with pectoralis major myocutaneous flap. The results were viable, functional, and aesthetically acceptable. No postoperative complications such as hematoma or abscess observed. Conclusion: Pectoralis major myocutaneous flap was still one of the main methods for head and neck reconstruction surgery. |
|
Sindrom Felty – Diagnosis dan Tata Laksana |
Author : Putu Stephanie Apriliana Hardika |
Abstract | Full Text |
Abstract :Sindrom Felty merupakan kondisi medis dengan karakteristik trias yaitu artritis reumatoid, neutropenia, dan splenomegali; terjadi pada beberapa kasus artritis reumatoid erosif yang sudah berlangsung lama. Hanya 1 – 3% pasien artritis reumatoid akan berkembang menjadi Sindrom Felty. Peran genetik (HLA-DR4) dan faktor lingkungan berperan dalam terjadinya kondisi ini. Neutropenia persisten dengan hitung neutrofil absolut umumnya kurang dari 1500/mm3 merupakan ciri khas diagnosis Sindrom Felty. Kondisi medis ini biasanya asimtomatik, infeksi lokal serius atau sistemik bisa menjadi petunjuk awal. Terapi farmakologi menggunakan disease-modifying anti-rheumatic drugs (DMARDs); methotrexate oral dosis rendah menjadi modalitas terapi lini pertama. Splenektomi merupakan upaya terakhir dalam algoritma penatalaksanaan Sindrom Felty.
Felty Syndrome is a medical condition characterized by triad of rheumatoid arthritis, neutropenia, and splenomegaly; occurs in few cases of longstanding erosive rheumatoid arthritis. Only 1 – 3% rheumatoid arthritis patient developed Felty Syndrome. Genetic (HLA-DR4) and environmental factors are involved in its pathophysiology. Persistent neutropenia with absolute neutrophil count less than 1500/mm3 is a diagnosis hallmark. Felty syndrome may be asymptomatic, but local serious or systemic infections may be the first clue to the diagnosis. Pharmacological therapy as the first-line therapy use disease-modifying anti-rheumatic drugs (DMARDs) such as oral low dose methotrexate. Surgical approach (splenectomy) is the last resort in Felty Syndrome management. |
|
Aspek Klinis Ambliopia |
Author : Jeni Yuliana |
Abstract | Full Text |
Abstract :Ambliopia didefinisikan sebagai kondisi penurunan tajam penglihatan pada satu atau kedua mata walaupun dengan koreksi tajam penglihatan terbaik (best corrected visual acuity), yang tidak berhubungan dengan kelainan struktural anatomi mata ataupun jaras penglihatan. Ambliopia merupakan penyebab penurunan tajam penglihatan paling sering pada anak dan dewasa. Sebagian besar kasus dapat dicegah dan reversibel apabila terdeteksi dini dan mendapat terapi yang tepat. Terapi ambliopia mencakup menghilangkan penyebab terhalangnya aksis penglihatan, koreksi kelainan refraksi yang ada, dilanjutkan terapi untuk merangsang penggunaan mata yang mengalami ambliopia.
Amblyopia is defined as reduction of best-corrected visual acuity in one eye or both that cannot be attributed to any structural abnormality of the eye or visual pathways. Amblyopia is the most common cause of decreased visual acuity in children and adults. Most cases are preventable and reversible if detected early and with appropriate therapy. Treatment includes removal of any obstruction of the visual axis, correction of any significant refractive errors, followed by treatment designed to encourage utilization of the amblyopic eye. |
|
Function after Wrist Arthrodesis with Non-Vascularized Fibular Graft in Distal Radius Giant Cell Tumor: Case Series |
Author : Heru Rahmadhany |
Abstract | Full Text |
Abstract :Giant cell tumor (GCT) of bone, the most common benign locally aggressive bone tumor, accounts for 4% to 5% of all primary bone neoplasms and 20% of benign bone tumors. The distal radius is the third commonest site of involvement in about 10% of GCT cases. Due to the high recurrence rate after curettage of the more progressed lesions, most surgeons prefer en bloc resection followed by reconstruction. Cases: Three distal radius GCT Campanacci III cases underwent en bloc resection and wrist arthrodesis with non-vascularized fibular graft. The mean follow-up period was nine months (6-12 months). Patients were evaluated with the Disabilities of the Arm, Shoulder, and Hand (DASH) Score. Results: Union had been achieved in 2 patients, and implant removal was done. One patient needs cancellous bone grafting after implant removal—no sign of recurrence after one year. DASH score showed moderate disability. Conclusion: Autogenous non-vascularized fibular graft reconstruction can be considered a reasonable option after en bloc resection of distal radius GCT.
Giant Cell Tumor (GCT) adalah tumor tulang jinak yang paling sering dijumpai, bersifat agresif secara lokal, merupakan 4-5% dari seluruh neoplasma tulang primer dan 20% dari seluruh tumor tulang jinak. Radius distal merupakan lokasi GCT terbanyak ketiga, mencakup 10% kasus GCT. Mengingat tingginya rekurensi setelah prosedur kuretase, lebih disukai reseksi en bloc diikuti rekonstruksi. Kasus: Tiga pasien GCT pada radius distal (Campanacci III) menjalani reseksi en bloc disertai arthrodesis pergelangan tangan. Follow-up rata-rata selama 9 bulan (range 6-12 bulan). Pasien dinilai menggunakan skor Disabilities of the Arm, Shoulder, and Hand (DASH). Hasil: Union tulang tercapai pada 2 pasien, dan implan telah dicabut. Satu pasien membutuhkan graft dari tulanag cancellous setelah pencabutan implan. Tidak didapatkan rekurensi pada periode follow-up satu tahun. Skor DASH menunjukkan disabilitas sedang pada ketiga pasien. Simpulan: Prosedur rekonstruksi menggunakan nonvascularized fibular graft baik dilakukan setelah reseksi en bloc pada pasien GCT radius distal. |
|
Potensi Kurkumin Kombinasi Silibinin (Cur-Sil)-Loaded Nanopartikel Magnetik (Fe3O4) Termodifikasi [Poly(Ethyelene Caprolactone)-Poly(Ethyelene Glycol) (PCL-PEG)] Ko-polimer sebagai Inhibitor Gen Leptin dalam Tata Laksana Kanker Paru |
Author : Ayu Dilia Febriani Wisnawa |
Abstract | Full Text |
Abstract :Pendahuluan: Kanker paru merupakan kanker dengan insiden paling tinggi dan menyebabkan mortalitas yang signifikan pada pria. Leptin, sitokin derivat adiposit, memainkan peran penting pada proses karsinogenesis kanker paru. Kurkumin dan silibinin adalah komponen herbal alami dengan karakteristik antikanker bersifat multitarget. Diskusi: Teknologi nanopartikel magnetik (Fe3O4) memiliki sifat super-paramagnetik yang unik, sehingga meningkatkan kemampuan untuk mencapai target spesifik. Nanopartikel magnetik dilapisi dengan kopolimer polyethylene-caprolactone-polyethylene glycol (PCL-PEG) untuk meningkatkan stabilitas dan mengeliminasi kemungkinan agregasi permukaan substansi kurkumin dan silibinin yang dilapisi nanopartikel. Subtansi kurkumin dan silibinin dalam nanopartikel magnetik (Fe3O4) berbasis PCL-PEG termodifikasi digunakan sebagai inhibitor ekspresi leptin. Simpulan: Tinjauan pustaka menunjukkan berbagai manfaat farmakologi kurkumin dan silibinin ter-enkapsulasi nanopartikel magnetik berbasis kopolimer PCL-PEG termodifikasi sebagai inhibitor ekspresi leptin yang efektif tanpa toksisitas pada jaringan normal. Penemuan ini dapat digunakan sebagai alternatif tata laksana kanker paru di Indonesia.
Introduction: Lung cancer is the highest incidence of cancer and causes significant mortality in male. Leptin, an adipocyte derivative cytokine, plays a role in carcinogenesis in lung cancer. Curcumin (CUR) and silibinin (SIL) are natural herbal compounds with multitargeted anticancer properties. Discussion: Magnetic nanoparticle (Fe3O4) technology has unique super-paramagnetic properties, increasing the ability to reach specific targets. Magnetic nanoparticles are coated with polyethylene-caprolactone-polyethylene glycol (PCL-PEG) copolymers to improve stability and to eliminate the possibility of surface aggregation of nanoparticles-load curcumin and silibinin substances. The modified PCL-PEG-based magnetic nanoparticles (Fe3O4) of curcumin and silibinin are used as inhibitors of leptin expression. Conclusion: Literature studies reveal various pharmacological advantages of curcumin and silibinin encapsulated with modified PCL-PEG copolymers magnetic nanoparticles as effective inhibitors in leptin expression without toxicity in normal tissue. It can be used as an alternative in lung cancer management in Indonesia. |
|
Rekonstruksi Pectoralis Major Myocutaneuos Flap untuk Defek Operasi Kanker Tiroid |
Author : Oktahermoniza ., Heldrian Dwinanda Suyuthie, Ari Oktavenra, Sondang Nora, Daan Khambri, Wirsma Arif Harahap, Rony Rustam, Azamris . |
Abstract | Full Text |
Abstract :Latar Belakang: Pembedahan kanker daerah kepala dan leher umumnya menimbulkan defek luas dan biasanya memerlukan flap. Meskipun free flap saat ini merupakan gold standard untuk rekonstruksi daerah kepala leher, pectoralis major myocutaneous flap (PMMC) masih digunakan. Kasus: Perempuan usia 47 tahun, dengan kanker tiroid papiler T4aN0M0 dengan ulserasi di kulit leher, menjalani tiroidektomi total dan defek operasi direkonstruksi dengan pectoralis major myocutaneous flap. Hasil rekonstruksi dapat diterima secara fungsional dan estetik. Tidak ada komplikasi hematom ataupun abses post operasi. Simpulan: Pectoralis major myocutaneous flap masih merupakan salah satu metode utama untuk rekonstruksi operasi kepala leher dan dapat diterima secara fungsional dan estetik jika free flap tidak dapat dilakukan.
Background: Surgery for head and neck cancer generally leaves a wide defect that usually needed a flap. Although free flap is currently the gold standard for reconstruction of the head and neck, the pectoralis major myocutaneous flap is still popularly used. Case: A 47-year old female with thyroid carcinoma, underwent total thyroidectomy and the surgical defect was reconstructed with pectoralis major myocutaneous flap. The results were viable, functional, and aesthetically acceptable. No postoperative complications such as hematoma or abscess observed. Conclusion: Pectoralis major myocutaneous flap was still one of the main methods for head and neck reconstruction surgery. |
|
Pemeriksaan Radiologi dan Imaging untuk Perforasi Hollow Organ Abdomen |
Author : Komang Ady Widayana |
Abstract | Full Text |
Abstract :Perforasi saluran gastrointestinal melibatkan organ lambung, duodenum, usus kecil, atau usus besar terjadi akibat kerusakan dinding saluran gastrointestinal disertai pelepasan konten intraluminal ke dalam rongga peritoneal atau retroperitoneal. Perforasi saluran gastrointestinal merupakan keadaan darurat medis umum dengan angka kematian tinggi; biasanya membutuhkan pembedahan darurat. Diagnosis dan pengobatan segera sangat penting untuk mengurangi morbiditas dan mortalitas. Foto polos abdomen dapat menjadi bantuan penting untuk diagnosis perforasi saluran gastrointestinal. Ultrasonografi dapat berguna untuk menentukan tidak hanya keberadaan, tetapi juga penyebab pneumoperitoneum. Multidetector computed tomography merupakan modalitas pilihan untuk evaluasi dugaan perforasi karena sensitivitas dan akurasinya yang tinggi.
Perforation of the gastrointestinal tract involves organs of the stomach, duodenum, small intestine, or large intestine that result from damage of the gastrointestinal tract accompanied by intraluminal content release into the peritoneal or retroperitoneal cavities. Gastrointestinal perforation is a common medical emergency associated with high mortality; usually requires emergency surgery. Prompt diagnosis and treatment is essential. Plain abdominal radiographs can be an important aid for diagnosis gastrointestinal perforation. Ultrasound can also be used to determine not only the presence, but also the cause of pneumoperitoneum. Multidetector computed tomography is the modality of choice for the evaluation of suspected perforation because of its high sensitivity and accuracy. |
|
Pengaruh Kualitas Tidur terhadap Memori Jangka Pendek Mahasiswa Program Studi Kedokteran Universitas Tanjungpura |
Author : Hesti Ratna Pratiwi, Ery Hermawati, Umi Kalsum |
Abstract | Full Text |
Abstract :Latar Belakang. Memori jangka pendek sebagai salah satu proses awal penerimaan informasi dianggap berperan penting dalam fungsi kognitif seseorang. Tujuan. Mengetahui pengaruh kualitas tidur terhadap memori jangka pendek mahasiswa Program Studi Kedokteran Universitas Tanjungpura. Metodologi. Penelitian dengan desain analitik menggunakan pendekatan potong lintang. Jumlah sampel 73 orang. Variabel bebas adalah kualitas tidur diukur dengan PSQI dan variabel terikat adalah memori jangka pendek diukur dengan Digit Span. Analisis statistik menggunakan Kolmogorov-Smirnov dan Mann-Whitney U Test Hasil. Sebanyak 74% subjek penelitian memiliki kualitas tidur buruk dan rata-rata skor memori jangka pendek adalah 8,96. Subjek penelitian yang memiliki kualitas tidur buruk memiliki rata-rata skor memori jangka pendek lebih tinggi (9,33) dibandingkan dengan subjek penelitian dengan kualitas tidur baik (7,89). Hasil uji komparatif Mann-Whitney U Test mendapatkan nilai signifikan p=0,015 (p<0,05). Simpulan. Skor memori jangka pendek lebih tinggi pada mahasiswa Program Studi Kedokteran Universitas Tanjungpura yang memiliki kualitas tidur buruk dibandingkan mahasiswa yang memiliki kualitas tidur baik |
|
Spinal Muscular Atrophy: Diagnosis dan Tatalaksana |
Author : Natasha Vinita Wardoyo, Elina |
Abstract | Full Text |
Abstract :Spinal muscular atrophy (SMA) adalah kelainan autosomal resesif langka akibat mutasi atau hilangnya gen survival motor neuron 1 (SMN1) pada kromosom 5q13. Insidensi global SMA diperkirakan 1:11.000 kelahiran hidup. Manifestasi klinis berupa kelemahan otot progresif dan penurunan tonus otot yang berhubungan dengan destruksi unit motorik alfa lower motor neuron. Gejala klinis dan prognosis lebih berat jika usia onset gejala makin dini. Sampai saat ini, sebagian besar terapi bersifat suportif. Spektrum fenotipik yang kompleks pada SMA dapat menyebabkan gangguan fungsional serta disabilitas yang membutuhkan penanganan multidisiplin. |
|
Nutrisi Pasien Anak dengan Chronic Kidney Disease (CKD) |
Author : Martinova Sari Panggabean |
Abstract | Full Text |
Abstract :Chronic Kidney Disease (CKD) atau penyakit ginjal kronik adalah kerusakan ginjal yang berlangsung selama tiga bulan atau lebih, ditandai dengan kelainan struktur maupun fungsi ginjal, baik disertai maupun tanpa penurunan laju filtrasi glomerulus (glomerular filtration rate/GFR). Anak dengan CKD berisiko mengalami gangguan nutrisi. Prevalensi malnutrisi pada anak dengan CKD dilaporkan sekitar 20%-45%. Malnutrisi pada anak dengan CKD telah terbukti meningkatkan risiko morbiditas dan mortalitas. Selain berdampak gangguan pertumbuhan, malnutrisi pada anak dengan CKD dapat meningkatkan risiko infeksi, kelemahan, depresi, penyakit kardiovaskuler, hospitalisasi dan kematian. Oleh karena itu, pemberian nutrisi yang adekuat sangat penting pada anak dengan CKD. Intervensi pemberian nutrisi dini diperlukan untuk mendukung tumbuh kejar dan merupakan komponen kunci dalam mempertahankan pertumbuhan anak dengan CKD.
|
|
Aspek Klinis Dermatitis Seboroik |
Author : Nadia Puspa Dewi |
Abstract | Full Text |
Abstract :Dermatitis seboroik adalah inflamasi kulit kronis berulang yang ditandai dengan patch dan plak eritematosa disertai skuama berminyak. Lesi terutama di area tubuh yang kaya kelenjar sebasea. Prevalensinya terutama pada usia bayi dan remaja atau dewasa muda. Patogenesis dermatitis seboroik multifaktorial, dipengaruhi oleh aktivitas kelenjar sebasea, kolonisasi Malassezia, komposisi lipid permukaan kulit, sistem imun, barrier kulit, dan faktor genetik. Tatalaksana bertujuan untuk mengurangi keluhan dan lesi penyakit, menggunakan agen topikal dan sistemik sesuai keparahan penyakit. |
|
Relapsing Nephrotic Syndrome Associated with COVID-19 |
Author : Jusli Aras, Andi Utari Dwi Rahayu, Husein Albar |
Abstract | Full Text |
Abstract :An 8-year and 2 month-old girl presented with generalized oedema for 2 days with mild cough and shortness of breath. She was diagnosed as relapsing nephrotic syndrome (NS) and Community Acquired Pneumonia due to COVID-19 infection. The patient was discharged with complete remission NS and repeated negative PCR for SARS-CoV-2 from nasopharyngeal swabs. It is important to consider COVID-19 infection as a likely trigger to relapsing NS in children.
|
|
Rejimen KDT-ARV terbaru dengan Dolutegravir |
Author : Maria Cecilia Gritce Widjaja |
Abstract | Full Text |
Abstract :Terapi HIV/AIDS terus mengalami perkembangan. Rejimen ARV terbaru saat ini menggunakan Dolutegravir dalam rejimen KDT-ARV berupa KDT-TLD, yang berisi 2NRTI + INSTI. Rejimen baru ini diteliti mampu menekan jumlah virus lebih cepat, mengurangi efek neuropsikiatri dan mengurangi resistensi pada rejimen sebelumnya yang menggunakan efavirenz. Inisiasi ARV juga disarankan sedini mungkin (jika belum ada infeksi oportunistik) supaya dapat meningkatkan harapan hidup, menurunkan insiden infeksi oportunistik, dan mencegah transmisi virus HIV. |
|
Granuloma Piogenik Konjungtiva: Komplikasi Pasca Bedah Eksisi Pterigium |
Author : Anak Agung Putri Satwika, I Gusti Ayu Made Juliari |
Abstract | Full Text |
Abstract :Granuloma piogenik konjungtiva merupakan tumor vaskular jinak pasca episode peradangan seperti pasca bedah eksisi pterigium. Kondisi ini diduga akibat penyembuhan luka yang tidak sempurna. Kasus : Laki-laki, 44 tahun mengeluh rasa mengganjal pada mata kiri disertai merah sejak 1 minggu. Pasien memiliki riwayat eksisi pterigium 1 bulan sebelumnya. Pada segmen anterior ditemukan massa granuloma pada konjungtiva bulbi dekat limbus bagian temporal. Terapi awal kortikosteroid topikal dan bedah eksisi sebagai pilihan terapi lanjut.
|
|