Tinea Imbrikata pada Dua Saudara Kandung | Author : Epifania Fitriana Adna, Rompu Roger Aruan | Abstract | Full Text | Abstract :Pendahuluan: Tinea imbrikata (TI) adalah dermatofitosis kronis-kambuhan, bentuk khas dari tinea korporis yang disebabkan oleh Trichophyton concentricum (TC); penyebarannya endemis terbatas di daerah tropis. TI terutama menginfeksi populasi di pedalaman dan terisolasi. Kasus: Dua kasus TI dari satu keluarga, dengan keluhan timbul sisik pada kulit disertai rasa gatal. Diagnosis TI berdasarkan anamnesis, temuan klinis khas dan hasil pemeriksaan KOH 10%. Terapi griseofulvin oral dan miconazole krim 2% dua kali sehari selama enam minggu menghasilkan perbaikan klinis.
|
| Peran Diet Ketogenik dalam Tata Laksana Epilepsi | Author : Dedyanto Henky Saputra | Abstract | Full Text | Abstract :Sejak diperkenalkan pertama kali pada awal abad 19, penggunaan diet ketogenik dalam terapi epilepsi terus berkembang, khususnya untuk kasus epilepsi yang refrakter terhadap terapi farmakologi. Berbagai mekanisme terkait peran diet ketogenik dalam memperbaiki kondisi epilepsi telah diajukan, mulai keterlibatannya dalam regulasi GABA dan glutamat, efek antioksidan, perbaikan metabolisme energi, hingga koreksi kondisi disbiosis. Diet ketogenik adalah terapi non-farmakologis epilepsi yang menjanjikan, saat ini telah masuk dalam guideline NICE di Inggris untuk kasus epilepsi anak yang resisten terhadap terapi obat anti-epilepsi.
|
| Pemberian Nutrisi Parenteral pada Bayi dan Anak | Author : Laurencia Ardi | Abstract | Full Text | Abstract :Malnutrisi didefinisikan sebagai ketidakseimbangan antara asupan dan kebutuhan nutrisi. Ketidakseimbangan ini dapat disebabkan karena kebutuhan energi dan protein yang meningkat serta adanya defisiensi mikronutrien. Malnutrisi pada bayi dan anak dapat menyebabkan gangguan tumbuh kembang dan outcome lainnya. Malnutrisi pada anak lebih sering ditemukan pada rawat inap, sedangkan pada bayi lebih sering ditemukan pada bayi prematur. Malnutrisi pada bayi dan anak membutuhkan pemberian nutrisi yang adekuat. Terkadang pemberian nutrisi per oral dan enteral saja tidak cukup, sehingga perlu ditambah atau diganti dengan nutrisi parenteral.
|
| Kriteria ABCDE untuk Deteksi Dini Keganasan Kulit | Author : Parikesit Muhammad, Adhika Ayu Lestari, Kara Adistri, Ridha Sarly Amalia, Larisa Paramitha Wibawa | Abstract | Full Text | Abstract :Tingginya insiden keganasan kulit yang ditemukan pada stadium lanjut membutuhkan kemampuan lebih baik untuk mengenali tanda dan gejala awal. Pengenalan dini gejala klinis kanker kulit berpigmen, terutama melanoma maligna, dapat dengan pemeriksaan lesi menggunakan kriteria ABCDE. Kriteria ini sederhana dan mudah digunakan, baik oleh tenaga medis maupun masyarakat awam. Makin banyak kriteria ABCDE yang terpenuhi, makin tinggi kemungkinan suatu lesi adalah kanker kulit. |
| Diagnosis dan Tata Laksana Ulkus Mooren | Author : Ivana Beatrice Alberta | Abstract | Full Text | Abstract :Ulkus Mooren merupakan ulkus kornea perifer berbentuk crescent yang jarang ditemukan dengan nyeri intens, progresif, kronis, dan bersifat idiopatik. Manifestasi klinis berupa nyeri mata intens, fotofobia, mata merah dan berair. Pada pemeriksaan ditemukan ulkus perifer superfisial, menyebar progresif sikumferensial dan sentripetal. Terapi awal berupa corticosteroid topikal setiap jam. Tata laksana lain berupa eksisi limbus konjungtiva, keratoplasti tektonik lamellar, terapi adjuvan lokal, dan imunosupresan sistemik. Prognosis pasien ulkus Mooren tergantung beberapa faktor, antara lain: usia pasien, lateralisasi (unilateral/bilateral), derajat dan luasnya ulkus, serta kepatuhan berobat dan kontrol.
|
| Nyeri Epigastrik sebagai Presentasi Awal Kolelitiasis | Author : David Kristianus, Rafael Eddy Setijoso, Maria Mayasari, Hendra Koncoro | Abstract | Full Text | Abstract :Kolelitiasis sering dijumpai dalam praktek sehari-hari. Selain kolik bilier, kolelitiasis juga dapat menunjukkan gejala atipik berupa dispepsia, sehingga dapat menyebabkan kesalahan diagnosis. Laporan kasus ini bertujuan untuk menjelaskan pentingnya evaluasi sindrom dispepsia dengan diagnosis akhir kolelitiasis. Seorang wanita berusia 33 tahun dirawat dengan keluhan nyeri epigastrik. Pasien didiagnosis dispepsia, namun terapi penghambat pompa proton tidak menghasilkan perbaikan. Pada pemeriksaan fisik ditemukan demam, sklera ikterik, dan nyeri tekan abdomen kuadran kanan atas. Pemeriksaan laboratorium menunjukkan neutrofilia dan hiperbilirubinemia. Pada ultrasonografi (USG) abdomen, ditemukan batu kandung empedu, batu duktus sistikus, dan kolesistitis. Pemeriksaan magnetic resonance cholangiopancreatography (MRCP) menunjukkan adanya batu duktus koledokus. Intervensi berupa endoscopic retrograde cholangiopancreatography (ERCP) disertai ekstraksi batu dan kolesistektomi laparoskopik memperbaiki keluhan nyeri perut. Kolelitiasis perlu dipertimbangkan sebagai diagnosis banding keluhan dispepsia.
|
| Hubungan Usia Onset dengan Fungsi Kognitif Pasien Epilepsi di RSUD dr. Soedarso Kota Pontianak, Indonesia | Author : Ariesta Nurtria Khansa, Dyan Roshinta Laksmi Dewi, Muhammad In’am Ilmiawan | Abstract | Full Text | Abstract :Latar Belakang: Epilepsi adalah gangguan susunan saraf pusat yang ditandai bangkitan spontan berulang. Salah satu faktor yang dapat memengaruhi fungsi kognitif pasien epilepsi adalah usia saat onset. Tujuan: Mengetahui hubungan antara usia saat onset dan fungsi kognitif pasien epilepsi di Poliklinik Saraf RSUD dr.Soedarso Pontianak. Metode: Penelitian analitik observasional cross-sectional. Subjek penelitian berjumlah 36 orang. Variabel bebas penelitian adalah usia pasien saat didiagnosis epilepsi, sedangkan variabel terikat adalah fungsi kognitif pasien epilepsi. Hasil: Distribusi pasien epilepsi terbanyak pada golongan usia dewasa muda (usia 18-25 tahun; 30,5%), laki-laki (55,6%), tingkat pendidikan terakhir SMA (44,4%), tidak bekerja (50%), dan belum menikah (52,8%). Kebanyakan onset epilepsi pada usia 19-60 tahun (58,3%), dengan frekuensi bangkitan tidak sering (75%). Sebagian besar pasien teratur minum obat anti-epilepsi (77,8%) dan telah didiagnosis epilepsi selama 15-30 tahun (44,4%). Sebanyak 9 (25%) pasien epilepsi mengalami penurunan fungsi kognitif yang nyata dan 17 orang (47,2%) kemungkinan (probable) mengalami penurunan fungsi kognitif. Uji korelasi Kendal tau menghasilkan adanya hubungan antara usia saat onset dan fungsi kognitif (p<0,004). Simpulan: Terdapat hubungan antara usia onset dan fungsi kognitif pada pasien epilepsi di Poliklinik Saraf RSUD dr. Soedarso kota Pontianak.
|
| Tinjauan atas Epilepsi Pasca-Trauma Kapitis | Author : Olivia Wangidjaja, Budi Riyanto Wreksoatmodjo | Abstract | Full Text | Abstract :Epilepsi pasca-trauma kapitis merupakan salah satu disabilitas akibat cedera kepala; yaitu bangkitan epileptik yang terjadi setelah 7 hari sampai bertahun-tahun pasca-trauma kapitis. Epilepsi pasca-trauma kapitis lebih sering ditemukan pada laki-laki, terutama di kelompok usia 0-12 tahun dan 15-27 tahun. Beberapa mekanisme perubahan aktivitas otak yang memicu bangkitan setelah cedera kepala, antara lain peningkatan penanda inflamasi dan sitokin serta perubahan sawar darah-otak; perubahan tersebut berperan penting dalam patogenesis kejang pasca-trauma. Pengobatan anti-konvulsan (OAE) jangka panjang direkomendasikan untuk pasien epilepsi pasca-trauma kapitis. Tingkat remisi epilepsi pasca-trauma kapitis adalah sekitar 25% - 40% dengan pengobatan awal yang dilakukan. |
| Efikasi Intervensi Cognitive Behavioral Therapy untuk Kejang Non-Epileptik Psikogenik: Tinjauan Sistematis | Author : Ananda Kukuh Adishabri, Kemal Akbar Suryoadji | Abstract | Full Text | Abstract :Latar Belakang: CIOMS dan WHO memaparkan istilah adverse event following immunization (AEFI), salah satunya kejang non-epileptik psikogenik (PNES). Prognosis PNES umumnya buruk, pilihan pengobatan sering tidak jelas dan jarang dikerjakan. Saat ini sedang dikembangkan psikoterapi sebagai tata laksana PNES, salah satunya cognitive behavioural therapy (CBT), namun hanya terdapat sedikit bukti berkaitan dengan keberhasilannya. Tujuan: Mengetahui efikasi intervensi CBT dibandingkan dengan tanpa intervensi CBT pada pasien PNES. Metode: Pencarian literatur menggunakan lima basis data, yaitu Pubmed, Cochrane, Proquest, Science Direct, dan WHO Global Research Database on COVID-19. Literatur dipilih berdasarkan kriteria eligibilitas dan kesesuaian artikel serta PICO. Terdapat 2 studi yang terpilih dan ditelaah secara kritis pada laporan ini. Hasil: Center of Evidence Based Medicine dari Oxford University digunakan untuk melakukan telaah kritis komponen validity, importance, dan applicability dari artikel Goldstein LH, et al, (2020) dan LaFrance WC, et al, (2014). Hasil telaah kritis adalah CBT dapat menurunkan frekuensi kejang sebagai gejala psikosomatik dan memperbaiki gejala psikiatrik, kualitas hidup, interaksi sosial, serta global functioning dari pasien kejang non-epileptik psikogenik. Simpulan: Cognitive behavioural therapy memiliki efikasi baik untuk menurunkan frekuensi kejang sebagai gejala psikosomatik dan memperbaiki gejala psikiatrik, kualitas hidup, interaksi sosial, serta global functioning pasien kejang non-epileptik psikogenik.
|
| Peranan Pencitraan Molekuler Kedokteran Nuklir pada Tata Laksana Kanker Prostat | Author : Megawati | Abstract | Full Text | Abstract :Kanker prostat merupakan kanker tersering kedua dan menjadi penyebab kematian kedelapan akibat kanker pada laki-laki di dunia; di Indonesia, kejadian kanker prostat berada pada urutan kelima tersering sebesar7,4% dari 183.368 kasus baru. Modalitas pencitraan struktural (USG, CT, dan MRI) merupakan pemeriksaan standar klinis sehari-hari, tetapi terbatas untuk staging kanker prostat, restaging pasien dengan kekambuhan biokimia, serta untuk menilai respons terapi. Teknik pencitraan molekuler kedokteran nuklir dapat digunakan pada staging awal, restaging, serta menilai respons terapi kanker prostat. Pencitraan kedokteran nuklir dengan radiotracer 11C-choline, 18F-uoromethylcholine, 18F-uciclovine, 68Ga-PSMA, dan 18F-PSMA berperan signifikan dalam tata laksana kanker prostat.
|
|
|