Tata Laksana Keracunan Ethylene Glycol dan Diethylene Glycol |
Author : Johan Indra Lukito |
Abstract | Full Text |
Abstract :Ethylene glycol (EG) dan diethylene glycol (DEG) adalah senyawa alkohol toksik berbentuk cairan dengan rasa manis; senyawa ini dapat ditemukan di beberapa alat rumah tangga, zat antibeku, dan pelarut automotif dan industri. Keracunan akibat konsumsi bisa fatal. Keracunan EG dan DEG merupakan keadaan darurat medis yang membutuhkan diagnosis segera dan pengobatan agresif meliputi terapi suportif, antidot fomepizole atau ethanol, dan hemodialisis. |
|
Terapi Inhalasi Nebulisasi untuk Penyakit Saluran Pernapasan |
Author : Esther Kristiningrum |
Abstract | Full Text |
Abstract :
Terapi inhalasi nebulisasi merupakan pemberian obat inhalasi menggunakan alat nebulizer. Cara terapi ini efektif dan efisien untuk menghantarkan obat dalam bentuk aerosol langsung ke saluran pernapasan dan paru secara cepat dan relatif aman dibandingkan terapi sistemik. Jenis obat yang sering diberikan dengan nebulizer adalah obat bronkodilator, mukolitik, dan antiinflamasi. |
|
Sel Punca sebagai Terapi Regenerasi Potensial Kasus Ortopedi |
Author : I Gusti Ngurah Wien Aryana, Febyan |
Abstract | Full Text |
Abstract :
Cedera muskuloskeletal merupakan masalah kesehatan global; namun, metode pengobatan yang paling efektif masih kontroversial. Terapi sel punca telah menjadi populer di bidang ortopedi, terutama untuk kasus cedera muskuloskeletal yang melibatkan tendon, ligamen, tulang, meniskus, dan tulang rawan. Beberapa studi praklinis telah menggunakan terapi sel punca. Penelitian lebih lanjut diperlukan untuk mengevaluasi keamanan dan efektivitas sel punca pada kasus - kasus ortopedi. |
|
Ekstrak Etanol Daun Sirsak Tidak Menghambat Pertumbuhan Jaringan Tumor Payudara Tikus Rattus norvegicus Betina galur Sprague-Dawley Akibat Paparan 7,12-Dimethylbenz(a)anthracene dan Estrogen |
Author : Nurani Takwim, Muhammad In’am Ilmiawan, Mardhia Mardhia |
Abstract | Full Text |
Abstract :Pendahuluan: Sirsak (Annona muricata Linn) merupakan tanaman herbal yang dipercaya masyarakat Indonesia memiliki efek antikanker. Daun sirsak memiliki kandungan acetogenins selektif yang hanya menyerang sel kanker. Metode: Penelitian eksperimental dengan desain posttest-only control group menggunakan 24 tikus Rattus norvegicus galur Sprague-Dawley, dibagi acak menjadi 6 kelompok, yaitu kelompok tanpa perlakuan, kelompok kontrol positif (tamoxifen), kelompok kontrol negatif (DMSO 5%), kelompok perlakuan I (ekstrak daun sirsak 75 mg/kgBB), kelompok perlakuan II (ekstrak daun sirsak 150 mg/kgBB), dan kelompok perlakuan III (ekstrak daun sirsak 300 mg/kgBB). Hewan uji kelompok kontrol dan kelompok perlakuan dibuat mengidap tumor payudara dengan diinjeksi DMBA dan estrogen. Hasil: Efek hambatan ekstrak etanol daun sirsak terhadap pertumbuhan tumor payudara tidak bermakna (p>0,05). Berat tikus yang diberi ekstrak etanol daun sirsak, tidak berbeda bermakna (uji Mann-Whitney, p>0,05) dengan berat tikus kelompok tanpa perlakuan, kontrol negatif, dan kontrol positif. Simpulan: Ekstrak etanol daun sirsak (Annona muricata Linn) tidak mempunyai daya hambat terhadap diameter, berat dan volume tumor payudara, serta tidak berefek terhadap berat tikus betina Sprague-Dawley yang mengidap tumor payudara. |
|
Infeksi Dengue Sekunder: Patofisiologi, Diagnosis, dan Implikasi Klinis |
Author : Denni Marvianto, Oktaviani Dewi Ratih, Katarina Frenka Nadya Wijaya |
Abstract | Full Text |
Abstract :Infeksi dengue sekunder merupakan infeksi dengue yang terjadi kali kedua. Infeksi kedua dengan serotipe berbeda dapat menyebabkan
penyakit dengue yang lebih berat. Penelitian menunjukkan bahwa 98% kasus dengue hemorrhagic fever/dengue shock syndrome (DHF/DSS) merupakan infeksi dengue sekunder. Patofisiologi yang menjadikan infeksi dengue sekunder lebih berat belum sepenuhnya dipahami, diduga berkaitan dengan mekanisme antibody dependent enhancement (ADE). Membedakan infeksi dengue primer dan sekunder penting agar dokter dan tenaga kesehatan mampu memprediksi prognosis dan keluaran klinis pasien. |
|
Tinjauan atas Monkeypox |
Author : Aditya Yudha Pratama, Riany Jade Sabrina Toisuta, Jovy Yudha Tamba |
Abstract | Full Text |
Abstract :Infeksi virus monkeypox (virus MPX) atau dikenal sebagai penyakit cacar monyet merupakan infeksi zoonosis endemik. Virus MPX termasuk dalam genus Orthopoxvirus, DNA beruntai ganda yang diidentifikasi pertama kali pada tahun 1970, dan menjadi penyakit endemik di Afrika Tengah dan Barat. Transmisi virus dapat melalui kontak langsung dan tidak langsung. Pada awal tahun 2022, virus MPX telah tersebar keluar dari negara-negara Afrika. Tanda dan gejala menyerupai penyakit smallpox. Belum ada tata laksana khusus untuk infeksi MPX, antivirus dapat bermanfaat bagi pasien dengan gejala klinis berat dan kondisi khusus. Vaksinasi smallpox terbukti memberikan perlindungan sebesar 85%, namun vaksinasi sudah berhenti pada tahun 1980 karena telah tercapai eradikasi. Peran berbagai sektor sangat dibutuhkan untuk mencegah pergeseran status infeksi MPX dari endemik menjadi epidemik. |
|
Single Pill Combination sebagai Lini Pertama Terapi Hipertensi dan Proteksi Kardiovaskular |
Author : Antoninus Hengky, Rusiawati |
Abstract | Full Text |
Abstract :Sebagian besar pasien hipertensi membutuhkan 2 hingga 3 obat untuk dapat mencapai target terapeutik yang disarankan oleh berbagai organisasi ahli. Penggunaan single pill combination (SPC) merupakan salah satu solusi untuk meningkatkan kepatuhan pasien demi kontrol hipertensi yang adekuat. Efek anti-hipertensi kombinasi 2 obat dari kelas mekanisme kerja yang berbeda 2-5 kali lipat lebih tinggi dibandingkan monoterapi, serta dosis dapat dikurangi untuk menghindari efek samping obat. Berbagai studi kohort retrospektif menunjukkan bahwa penggunaan SPC dapat meningkatkan kepatuhan minum obat, menurunkan angka kematian dan rawat inap akibat penyakit kardiovaskular. Penggunaan SPC perlu mempertimbangkan fleksibilitas, akses, serta kemampuan finansial pasien.
|
|
Penatalaksanaan Hipertensi Emergensi |
Author : Martinova Sari Panggabean |
Abstract | Full Text |
Abstract :Hipertensi emergensi didefinisikan sebagai tekanan darah sistolik >180 mmHg dan/atau tekanan darah diastolik >120 mmHg disertai bukti kerusakan organ target (target organ damage). Target penurunan tekanan darah pada hipertensi emergensi adalah segera dalam hitungan menit hingga 1-2 jam, sehingga diperlukan obat antihipertensi intravena dengan onset kerja cepat dan durasi kerja pendek (short acting). Prinsip pemilihan obat antihipertensi injeksi adalah berdasarkan presentasi klinis, obat pilihan pertama atau kedua, faktor komorbid, kontraindikasi, dan ketersediaan obat. Labetalol dan nicardipine adalah dua obat antihipertensi yang paling banyak direkomendasikan dalam berbagai guideline sebagai terapi lini pertama berbagai bentuk klinis hipertensi emergensi. Tujuan pengobatan hipertensi emergensi adalah mencegah atau membatasi kerusakan organ target lebih lanjut. Penurunan tekanan darah dilakukan secara gradual untuk mengembalikan autoregulasi organ, sehingga perfusi organ yang normal dapat dipertahankan. |
|
Achalasia in a Female Adolescent |
Author : Kukuh Rizwido Prasetyo, Yudi Suryana |
Abstract | Full Text |
Abstract :Achalasia is an esophageal smooth muscle motility disorder due to relaxation failure of the lower esophageal sphincter. This condition is rarely found in children; 2-5% cases occur in less than 16-year old. Case: A 16-year-old girl presented with chief complaint of regurgitation. She also complained of dysphagia, weight loss, and general weakness. Her general appearance was weak, underweight, and decreased skin turgor. Barium esophagogram demonstrated a narrowing of esophagus lumen distal to the esophagogastric junction with a “bird’s beak” appearance or rat tail sign. Esophageal achalasia was diagnosed and managed with open (laparotomy) surgical myotomy and fundoplication. Post-operative diet arrangement was carried out gradually and the patient was discharged 4 days post-surgery. |
|
Tension-type Headache and Migraine as Manifestations of Chronic Post-Traumatic Headache |
Author : Eric Hartono Tedyanto, -I Made Oka Adnyana, I Putu Eka Widyadharma |
Abstract | Full Text |
Abstract :Introduction: A subsequent headache within seven days of a head injury (or after regaining consciousness after the head trauma)is referred to as a post-traumatic headache (PTHA); it is referred to as chronic or chronic post-traumatic headache (CPTHA) if it lasts longer than three months after the injury. Case : A 17-year-old male with headache since 3 months ago, 3 days after suffered a blow to his left head from falling from a chair. At that time, the patient fainted for about 15 minutes but had no complaints after regained consciousness. Pain is felt on the left side of the head, throbbing, mild-moderate intensity, and feels heavier with a loud sound or a too-bright light. Discussion: Post-traumatic headache is clinically diagnosed. Laboratory and routine diagnostic imaging studies are unnecessary and have minimal clinical utility. Conclusion: Chronic post-traumatic headaches often occur, especially after minimally traumatic brain injury. The clinical picture is variable and may be similar to tension-type headaches and/or migraines.
|
|