PERIMBANGAN DANA OTONOMI KHUSUS ACEH ANTARA PROVINSI DAN KABUPATEN/KOTA | Author : Jefrie Maulana, Eddy Purnama, Mahdi Syabandir | Abstract | Full Text | Abstract :Perimbangan Dana Otonomi Khusus Aceh antara Provinsi dan kabupaten/kota dalam rangka mempercepat pembangunan di Aceh dalam berbagai sektor akan terwujud apabila pengelolaannya sesuai dengan prinsip kesejahteraan rakyat serta mekanisme pengawasan yang sesuai dengan asas kemanfaatan. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui dan menjelaskan kesesuaian peraturan perimbangan Dana Otonomi Khusus Aceh dengan prinsip kesejahteraan rakyat serta kemanfaatan mekanisme pengawasan pengalokasian Dana Otonomi Khusus Aceh yang dilakukan Pemerintahan Aceh. Penelitian ini merupakan penelitian yuridis normatif yang ingin mengidentifikasi dari aspek hukumnya. Data yang digunakan terdiri dari bahan hukum primer, bahan hukum sekunder, dan bahan hukum tersier. Hasil peneltian menunjukkan bahwa pengelolaan Dana Otonomi Khusus Aceh belum memenuhi prinsip Negara kesejahteraan, karna pembagiannya lebih besar untuk Provinsi daripada Kabupaten/Kota. Mekanisme pengawasan terhadap pemanfaatan Dana Otonomi Khusus belum menjamin pemenuhan asas kemanfaatan. Belum adanya Peraturan Gubernur Aceh tentang Satuan Kerja Khusus dan tentang kriteria seleksi program serta kurangnya peran pengawasan dari lembaga khusus Aceh sebagai bentuk pengawasan eksternal. |
| PENAHANAN DALAM SISTEM PERADILAN PIDANA TERHADAP TERSANGKA TINDAK PIDANA PENYALAHGUNAAN NARKOTIKA | Author : Rizqi Nurul Fadhilah, Dahlan Dahlan, Mujibussalim | Abstract | Full Text | Abstract :Penahanan yang dilakukan terhadap tersangka penyalahgunaan narkotika Golongan I bagi diri sendiri tidak memenuhi syarat boleh dilakukannya penahanan, sehingga secara yuridis tidak dapat dilakukan penahanan. Namun pada kenyataanya terhadap tersangka penyalahgunaan narkotika tersebut adanya dilakukan penahanan dan tidak dilakukan penahanan. Sehingga hal tersebut menjadi permasalahan dalam penegakan hukum pidana adalah masalah penahanan terhadap pelaku, yang terjadi tidak sejalannya syarat subjektif dan keadaan serta hambatan terkait dengan pentingnya dilakukan penahanan terhadap tersangka penyalahgunaan narkotika. Penelitian ini bertujuan untuk menjelaskan dan mengkaji pelaksanaan penahanan pelaku tindak pidana narkotika yang melanggar Pasal 127 ayat (1) huruf a UU No. 35 Tahun 2009 Tentang Narkotika dan hambatan terhadap penahanan tindak pidana narkotika dalam Pasal 127 ayat (1) huruf a UU No. 35 Tahun 2009 Tentang Narkotika. Metode penelitian yang digunakan adalah metode penelitian yuridis empiris dengan pendekatan kualitatif dan menggunakan sumber data sekunder berupa data yang diperoleh melalui bahan kepustakaan dan sumber data primer berupa sumber data lapangan. Dari penelitian telah terjadi disharmonisasi hukum dalam melakukan penahanan antara Pasal 21 KUHAP dengan Pasal 127 ayat (1) huruf a UU No. 35 Tahun 2009 tentang Narkotika. Penerapan kedua pasal tersebut menghambat penegakan hukum dalam hal penanganan tersangka pada tahap penyelidikan dan penyidikan, sehingga terdapat perkara yang harus dihentikan karena tidak dilakukannya penahanan oleh jaksa yang menyidik, dan telah ditemukan juga hambatan yang terjadi meliputi hambatan yuridis, tidak adanya sarana dan prasarana yakni berupa laboratorium pemeriksaan narkotika, dan luasnya wilayah hukum yang tidak sesuai dengan jumlah personil lembaga Kejaksaan Negeri Jantho. |
| PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA PERUSAKAN BARANG YANG DILAKUKAN BERSAMA-SAMA | Author : Syahruman Tajalla, Yanis Rinaldi | Abstract | Full Text | Abstract :Pasal 406 ayat (1) KUHP menyatakan bahwa orang yang merusak properti orang lain dipidana penjara maksimal dua tahun delapan bulan atau denda maksimal Rp 4.500,-. Tidak dapat dikatakan adil jika perusakan terhadap properti orang lain dipidana dengan pidana penjara dan denda saja tanpa adanya pemulihan terhadap properti tersebut (ganti kerugian). Ketiadaan perbedaan pidana antara orang yang melakukan, yang menyuruh melakukan atau turut melakukan perbuatan pidana berdasarkan Pasal 55 KUHP, tidak dapat dikatakan adil karena perbuatan dan akibat yang ditimbulkan berbeda-beda antara satu orang dengan orang lainnya. Penelitian ini bertujuan untuk menjelaskan pertanggungjawaban pidana atas perusakan barang yang dilakukan bersama-sama berdasarkan konsep keadilan. Jenis penelitian ini adalah penelitian hukum normatif. Data yang digunakan terdiri bahan hukum primer, sekunder dan tersier. Hasil penelitian menunjukkan bahwa untuk mencapai keadilan, pidana terhadap pelaku perusakan barang adalah ganti kerugian untuk korban. Dalam tindak pidana perusakan barang secara bersama-sama, maka seharusnya masing-masing orang bertanggung jawab sesuai akibat dan perbuatannya. |
| HAK MEMPEROLEH PENDIDIKAN INKLUSIF TERHADAP PENYANDANG DISABILITAS | Author : Mudhafar Anzari, A. Hamid Sarong, M. Nur Rasyid | Abstract | Full Text | Abstract :Pendidikan inklusif adalah sebuah layanan pendidikan peserta didik berkebutuhan khusus yang tergolong luar biasa dikarenakan kondisi fisik, mental maupun kecerdasan luar biasa. Tahapan Implementasinya ditemukan kendala pada pemerintah sebagai penanggung jawab pemenuhan hak pendidikan maupun sekolah sebagai penyelenggara pendidikan. Untuk itu diperlukan penelitian lebih lanjut berkenaan penyelenggaraan pendidikan inklusif di Kota Banda Aceh. Penelitian ini menggunakan metode penelitian yuridis empiris adalah penelitian hukum mengenai pelaksanaan pendidikan inklusif, dengan menggunakan pendekatan mengkaji seluruh perundang-undangan mengenai pendidikan inkusif. Hasil penelitian menunjukkan Pemerintah Kota Banda Aceh belum maksimal dalam hal pengelolaan, pengembangan, maupun peningkatan mutu pendidikan inklusif yang terlihat pada implementasinya di sekolah-sekolah. Padahal pemerintah punya tanggungjawab dalam meningkatkan mutu pendidikan dan pemberdayaan sekolah inklusif. Sekolah menyelenggarakannya berdasarkan kemampuan sumber daya guru seadanya dengan aksesibilitas yang kurang mendukung. Padahal pendidikan inklusif itu sendiri bersifat terbuka untuk anak dengan segala jenis hambatan yang dialaminya. |
| IMPLEMENTASI STRUKTUR DAN KEDUDUKAN KELOMPOK KERJA PADA UNIT LAYANAN PENGADAAN ACEH | Author : Cut Yulia Rizky, Eddy Purnama, Mujibussalim | Abstract | Full Text | Abstract :Menurut Perpres Nomor 54 Tahun 2010 dan Gubernur Nomor 4 Tahun 2015 Tentang Pembentukan Unit Layanan Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah Aceh, di dalam pasal 17 disebutkan untuk menjadi pokja harus Aparatur Negeri Sipil (ASN), Sedangkan di dalam Peraturan Gubernur Aceh Nomor 4 Tahun 2015 Tentang Unit Layanan Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah Aceh tidak diatur tentang hak-hak pegawai pokja, Tujuan penelitian untuk mengetahui implementasi struktur dan kedudukan kelompok kerja pada unit layanan pengadaan Aceh sudah sesuai dengan Perpres No 54 tahun 2010 berserta perubahannya, untuk mengetahui konsekuensi yuridis jika penempatan kelompok kerja dalam struktur dan kedudukan unit layanan pengadaan Aceh belum sesuai sebagaimana yang diamanahkan oleh Perpres No 54 tahun 2010 berserta perubahannya. Metode penelitian yang digunakan adalah jenis penelitian hukum normatif (yuridis normatif) dan penelitian hukum empiris (yuridis empiris). Penelitian ini mengunakan data skunder, data primer dan data tersier. Hasil penelitian menunjukan Pejabat Unit Layanan Pengadaan atau Pokja ULP seringkali menghadapai permasalahan diantaranya tugas dan tanggung jawab ditempat ASN berkerja dengan pekerjaannya sebagai Pokja ULP yang bersifat ad-hoc (sementara), kuatnya arus intervensi dari pihak-pihak tertuntu yang mengatasnamakan tempat porsenil Pokja selaku ASN bekerja, tidak mendapatkan penilaian kinerja dari ULP sebagaimana yang ditentukan oleh Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 46 Tahun 2011 Tentang Penilaian Prestasi Kerja Pegawai Negeri Sipil bahwa di dalam pasal 1 ayat (3) menyebutkan Prestasi kerja adalah hasil kerja yang dicapai oleh setiap PNS pada satuan organisasi sesuai dengan Sasaran Kerja Pegawai (SKP) dan perilaku kerja. |
| PELAKSANAAN HAK SAKSI/AHLI MENDAPATKAN PENGGANTIAN BIAYA | Author : Rizki Septimaulina, Suhaimi, Mujibussalim | Abstract | Full Text | Abstract :Ketentuan Pasal 229 ayat (1) KUHAP menjamin pemenuhan hak penggantian biaya bagi saksi/ahli yang telah hadir memenuhi panggilan dan memberikan keterangan di semua tingkat pemeriksaan. Namun pada praktiknya ketentuan tersebut tidak dijalankan sebagaimana mestinya. Penelitian ini bertujuan untuk mengkaji pelaksanaan, prosedur dan hambatan dalam memberikan penggantian biaya bagi saksi/ahli sesuai dengan peraturan yang berlaku. Penelitian ini dilakukan menggunakan metode penelitian yuridis empiris dan bersifat deskriptif analitis. Sumber data yang digunakan diperoleh dari penelitian kepustakaan dan penelitian lapangan. Data dikumpulkan, diseleksi, diklasifikasi, dan disusun dalam bentuk naratif dan dianalisis secara kualitatif. Hasil penelitian menunjukkan bahwa pelaksanaan penggantian biaya di Polresta Banda Aceh belum sebagaimana mestinya. Prosedur pelaksanaan tidak ada ketentuan khusus. Hambatan pelaksanaan disebabkan karena tidak tersedia anggaran yang memadai dan tidak adanya aturan lebih lanjut tentang letak pos anggaran untuk penggantian biaya terutama bagi saksi dikarenakan aturan tentang standar biaya masukan tentang honorarium bagi saksi sebagai penggantian biaya saat memberikan keterangan belum diatur dalam PMK Nomor 33/PMK.02/2016 tentang standar biaya masukan tahun anggaran 2017. Disarankan kepada pemerintah agar memberikan pemahaman lebih mendalam kepada aparatur penegak hukum agar tidak melakukan diskriminasi dalam konteks pemenuhan hak saksi dan ahli mendapatkan penggantian biaya. Diperlukan perubahan KUHAP dan peraturan lanjutan tentang letak pos anggaran untuk penggantian biaya. |
| KEWENANGAN GUBERNUR ACEH DALAM PENGGANTIAN PEJABAT ESELON II SETELAH PEMILIHAN KEPALA DAERAH | Author : Sadrun Pinim, Husni Djalil, Yanis Rinaldi | Abstract | Full Text | Abstract :Undang-Undang No. 11 Tahun 2006 tentang Pemerintah Aceh mempunyai kewenangan dalam penggantian pejabat eselon II yang tidak sesuai dengan Undang-Undang No. 10 Tahun 2016 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota. Gubernur Aceh dilarang melakukan penggantian pejabat 6 (enam) bulan sebelum tanggal penetapan pasangan calon sampai dengan akhir masa jabatan kecuali mendapat persetujuan tertulis dari Menteri. Prosedur penggantian pejabat eselon II dilakukan secara terbuka dan kompetitif di kalangan PNS dengan memperhatikan syarat kompetisi, kualifikasi, kepangkatan, pendidikan, pelatihan, rekam jejak jabatan dan integritas sesuai menurut UU No. 5 Tahun 2014 tentang Aparatur Sipil Negara. Tujuan penelitian untuk mengetahui kewenangan Gubernur Aceh dalam mengangkat pejabat Eselon II dan mengetahui ketentuan UU No. 10 Tahun 2016 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota membatasi kewenangan Gubernur Aceh sebagai kepala daerah dalam otonomi khusus. Metode penelitian yang digunakan penelitian hukum normatif (yuridis normative). Hasil penelitian menunjukkan bahwa Undang-Undang No. 10 Tahun 2016 tidak menghambat otonomi khusus di Aceh menurut UU No. 11 Tahun 2006. UU No. 10 Tahun 2016 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati dan Walikota tetap berlaku di Aceh, dan penggantian pejabat eselon II tetap berdasarkan UU No. 5 Tahun 2014 tentang Aparatur Sipil Negara. Disarankan kepada Pemerintah Pusat dalam membuat peraturan perundang-undangan harus sinkronisasi peraturan perundang-undang lainnya, agar tidak timbul disharmonisasi peraturan perundang-undangan. Memberikan pengecualian untuk Provinsi Aceh sebagai otonomi khusus, agar tidak timbul disharmonisasi peraturan perundang-undangan. |
| PENCANTUMAN INFORMASI PADA LABEL PRODUK KOSMETIK OLEH PELAKU USAHA DIKAITKAN DENGAN HAK KONSUMEN | Author : Yulia Susantri, Sri Walny Rahayu, Sanusi | Abstract | Full Text | Abstract :Pasal 8 ayat (1) huruf i Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen (UUPK) menyatakan adanya perbuatan yang dilarang bagi pelaku usaha, yaitu “tidak memasang label atau membuat penjelasan barang yang memuat nama barang, ukuran, berat/isi bersih atau netto, komposisi, aturan pakai, tanggal pembuatan, akibat samping, nama dan alamat pelaku usaha serta keterangan lain untuk penggunaan yang menurut ketentuan perundang-undangan yang berlaku.” Pasal 23 Ayat (1) Keputusan Kepala Badan Pengawas Obat dan Makanan Nomor HK.00.05.4.1745 Tahun 2003 tentang Kosmetik merinci informasi yang wajib dicantumkan pada label suatu produk kosmetik yaitu nama produk, nama dan alamat produsen atau importir/penyalur, ukuran isi atau berat bersih, Komposisi dengan nama bahan sesuai dengan kodeks kosmetik Indonesia atau nomenklatur lainnya yang berlaku, nomor izin edar, nomor batch/kode produksi, kgunaan dan cara penggunaan kecuali untuk produk yang sudah jelas penggunaannya, bulan dan tahun kadaluarsa bagi produk yang stabilitasnya kurang dari 30 bulan, penandaan lain yang berkaitan dengan keamanan dan atau mutu. Kenyataannya, masih banyak beredar produk kosmetik yang tidak mencantumkan informasi tersebut secara lengkap pada label produk, sehingga produk tersebut tidak layak untuk diedarkan dan dikonsumsi oleh masyarakat. Hal ini tentu saja bertentangan dengan ketentuan UUPK dan melanggar hak-hak konsumen sebagaimana yang tercantum dalam Pasal 4 UUPK. Pelanggaran yang dilakukan oleh pelaku usaha yaitu tidak mencantumkannya informasi sesuai ketentuan peraturan perundangan-undangan pada label kosmetik. Selain itu bagi pelaku usaha klinik kecantikan, diperbolehkan tidak mencantumkan informasi pada label produk, akan tetapi harus memenuhi persyaratan yaitu pada klinik tersebut harus ada dokter spesialis kecantikan yang bertanggung jawab terhadap pasien dan apoteker yang bertanggung jawab terhadap peracikan produk kecantikan. Tanggung jawab Balai Besar Pengawas Obat dan Makanan (BBPOM) Banda Aceh dalam melaksanakan fungsi pengawasan masih belum berjalan secara efektif. Hal ini disebabkan oleh hambatan-hambatan baik eksternal maupun internal, yaitu kantor BBPOM yang hanya ada 1 (satu) di ibukota provinsi dengan cakupan pengawasan seluruh wilayah Aceh, kurangnya sumber daya manusia, perilaku konsumen yang tidak peduli akan haknya, perilaku pelaku usaha yang tidak patuh terhadap peraturan, pengaruh iklan, serta sulitnya pengawasan terhadap toko online. |
| EFEKTIVITAS RETRIBUSI TERMINAL DALAM PENINGKATAN PENDAPATAN ASLI DAERAH | Author : Muhammad Fakhziatuddin, Mahdi Syahbandir, Mujibussalim | Abstract | Full Text | Abstract :Pendapatan Asli Daerah dari retribusi daerah yang termasuk didalamnya retribusi terminal diatur dalam Pasal 180 ayat (1) huruf b Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh, Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah, dan Pasal 285 ayat (1) Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah. Dengan demikian timbul permasalahan yang perlu dikaji bagaimanakah penentuan target penerimaan retribusi terminal, apakah pemungutan retribusi terminal sudah efektif, dan Apakah pungutan retribusi terminal dapat dipertahankan.Tujuan penelitian untuk mengetahui penentuan target penerimaan retribusi terminal, apakah pemungutan retribusi terminal sudah efektif, dan untuk mengetahui pungutan retribusi terminal apa perlu dipertahankan. Metode penelitian yang digunakan penelitian yuridis empiris. Hasil penelitian menunjukkan bahwa pengelolaan retribusi terminal dari tahun 2014 sampai dengan tahun 2016 dinilai masih kurang efektif, Proses penentuan target termuat dalam setiap Rencana Pembangunan Jangka Menengah (RPJM) Kabupaten/Kota yang merupakan Dokumen perencanaan yaitu meliputi Rencana Strategis, Rencana Kerja dan Rencana Kegiatan dan Anggaran. Retribusi terminal perlu dipertahankan oleh setiap Pemerintah Kabupaten/Kota karena menjadi prospek yang positif, khususnya di Wilayah Aceh yang Penghasilan Asli Daerah masih sangat rendah. Disarankan kepada Pemerintah Kabupaten/Kota untuk lebih serius dalam mengelola retribusi terminal, untuk bertindak tegas kepada para supir yang tidak membayar retribusi , dan disarankan kepada petugas agar melakukan pengutipan sesuai dengan prosedur sehingga tidak menimbulkan kebocoran pemasukan. |
| UPAYA TERPADU PENCEGAHAN DAN PEMBERANTASAN PENYALAHGUNAAN PEREDARAN GELAP NARKOTIKA DI LAPAS KLAS II A BANDA ACEH DAN RUTAN KLAS II B SIGLI | Author : Risa Andika Sari, Suhaimi, Muazzin | Abstract | Full Text | Abstract :Pasal 46 UU No 12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan menyatakan Kepala Lapas bertanggungjawab atas keamanan dan ketertiban di Lapas yang dipimpinnya. Pasal 4 Angka 7 Permenkumham No 6 Tahun 2013 tentang Tata Tertib Lapas dan Rutan menyatakan setiap Narapidana/Tahanan dilarang menyimpan, membuat, membawa, mengedarkan, dan/atau mengkonsumsi narkotika. Terdapat MoU antara Kemenkumham dan BNN serta Kemenkumham dan Kepolisian tentang pencegahan dan pemberantasan narkotika di Lapas. Namun kenyataannya, peredaran gelap narkotika masih terjadi sebagaimana di Lapas Klas IIA Banda Aceh dan Rutan Klas IIB Sigli. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pelaksanaan upaya terpadu pencegahan dan pemberantasan penyalahgunaan peredaran gelap narkotika di Lapas dan Rutan serta hambatan dalam pelaksanaan upaya terpadu tersebut. Penelitian ini menggunakan metode penelitian yuridis empiris. Pelaksanaan upaya terpadu pencegahan dan pemberantasan penyalahgunaan peredaran gelap narkotika belum berjalan maksimal dikarenakan tidak adanya hubungan yang sinergis antar instansi terkait. Hambatan yakni kebocoran informasi, keterlibatan oknum petugas Lapas, protap Lapas, keterbatasan anggaran dan sarana prasarana. Disarankan kepada Lapas, Kepolisian dan BNN untuk menindaklanjuti MoU yang ada dengan perjanjian yang memuat substansi dan sanksi yang tegas, sehingga aturan yang ada mempunyai kekuatan hukum mengikat. Kepada Pemerintah, untuk mengalokasikan anggaran serta pengadaan sarana prasarana yang memadai dan merevisi aturan pasal 17 ayat (5) UU No 12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan. |
|
|